Rabu, 21 Januari 2015

ERAWAN WATERFALL



Founded in 1975 as Thailands 12th National Park, it is covering an area of km². Located on West Thailand in the Tenasserim Hills of Kanchanaburi Province, it is one of the most famous national parks in Thailand.

The major attraction of the park is Erawan Falls with emerald green ponds.

Erawan Waterfall, named after the three-headed white elephant of Hindu mythology.  The top layer of the falls is said to resemble the elephant's head.

The first layer is not all that much to look at, but just a stream with a few picnic tables, which was called Ly Kung Lung (spelled Hlai Keun Lung).  The beauty really begins at the 2nd waterfall where there’s a huge pool of water to go swimming in and enjoy the refreshing falls.  Go even further and things keep getting better and better and quieter  



The 3rd level of Erawan Waterfall also provides a great opportunity for a dip,  which was called Pha Num tok (or Pha Nom Tok) and 220m from the visitor center. 


The trail is easily marked and although it becomes progressively less maintained and more rocky.
Further up the hike, the fourth Erawan Waterfall was more of a water slide. It also had a larger drop further downstream, but it was hard to see.  A person can scoot himself on the rounded rock of the waterslide before finally letting gravity take over. This falls was called Oke Nank Phee Seah.


Hiking along the trail at Erawan Waterfall, you’ll come across some interesting things in the trees, such as a number of shrines and trees wrapped in colorful cloth for the spirits, and this little head of a teddy bear that sits quietly on top of a big rock.



The 5th waterfall (called Bua Mai Long) of Erawan Waterfall is a beautifully shaded area with many little miniature falls and a gorgeous environment. Though it can get crowded, if you are able to visit before the buses of tourists arrive, you’ll be able to enjoy its pure natural beauty.


Ultimately, this fairly immersive part of the hike terminated at the sixth waterfall, which was a wide multilayers cascade with some lower layers. This waterfall was called Dong Prouck Sa.


The seventh level or layer is said to be the best level, the aqua turquoise water backed by white rocks and a gentle waterfall made for perfect scenery.  The water is very cool and refreshing!
But if you relax without moving in the water for too long, the fish will begin to attack your feet, nibbling on your toes and heels and eating your dead skin. 



Around 80% of Erawan is forest, and many of the park's various trees can be seen along three nature trails, which range from 1km to 2km. Bird-watchers try to spy hornbills, woodpeckers and parakeets from the camping areas and observation trails. Tigers, elephants, cobras and gibbons also call the park home.

Park bungalows sleep between two and 50 people. the price varies from 800B to 4000B. If you bring your own tent, there is a 30B service fee.

Buses from Kanchanaburi stop by the entrance of the Erawan waterfall (50B, 1½ hours, every 90 minutes from 8am to 5.20pm). The last bus back to Kanchanaburi is at 4pm. The entrance fee is 200 baht for foreigners and costs additional 20 baht for a motorbike. The park is easily accessible by public busses from Kanchanaburi, see our get there section for more info. Within the park, there are bicycles for rent for 20B per day.

Bare in mind that food is strictly forbidden beyond the 2nd tier. Visitors must pay a 20B fee per bottle of any drinks which can be refunded when the bottles are returned.


sources: 
  • https://www.thainationalparks.com/erawan-national-park
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Erawan_National_Park
  • http://www.world-of-waterfalls.com/asia-erawan-waterfall.html
  • http://www.lonelyplanet.com/thailand/kanchanaburi-province/erawan-national-park
  • http://www.kanchanaburi-info.com/en/srisawat.html
  • https://www.google.com/search?q=erawan+waterfall&espv=2&biw=1024&bih=470&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=fljAVIyIFsK58gW_4YLoBw&ved=0CAYQ_AUoAQ


Senin, 05 Januari 2015

Sejarah Jurnalistik di Dunia dan Indonesia

SEJARAH JURNALISTIK DI DUNIA

Awal  mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).

“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.

Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.

Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.

Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.

Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).

Acta Diurna

Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.

Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.

Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.

Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
 Kertas Phapyrus

Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.

Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Mesin Cetak Pertama di Dunia

Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.

SEPUTAR PULITZER

Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).

Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.

Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.

Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.

Pada 1872, Pulitzer membeli surat kabar Post seharga USD 3.000 dan setahun kemudian ia menjual surat kabar itu dengan harga berlipat. Pada 1879, ia membeli surat kabar St. Louis Dispatch dan St. Louis Post yang kemudian digabungkannya menjadi satu dengan nama St. Louis Post-Dispatch yang kemudian dirubah namanya lagi menjadi koran St. Louis saja. Di masa inilah, Pulitzer meraih kesuksesan besar dan berhasil mengumpulkan harta kekayaannya. 

Tahun 1882, Pulitzer mengakuisisi surat kabar New York World. Setelah dikelolanya, surat kabar yang semula telah mengalami defisit USD 40.000 berubah total dengan meraup untung sejumlah USD 346.000 dalam setahun. Hal ini bisa terjadi karena Pulitzer merombak habis-habisan arah pemberitaan surat kabar tersebut. Pulitzer mengisi New York World dengan sajian-sajian berita human-interest, skandal, gosip dan berita-berita sensasional lainnya di mana pada masa itu gebrakan ini belum dilakukan oleh media-media lain. Pada 1885, Pulitzer terpilih sebagai anggota DPR AS (House of Representatives). Namun sayangnya beberapa bulan kemudian ia mengundurkan diri. 

Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.

Penghargaan/Hadiah Pulitzer 

Acara penganugerahan Pulitzer pertama kali digelar setahun setelah Joseph Pulitzer meninggal yaitu pada tanggal 4 Juni 1917. Ini merupakan warisan terpenting Pulitzer dalam dunia pers. Setiap tahun ada duapuluh satu jenis kategori penghargaan yang diberikan. Di mana duapuluh orang/pihak pemenang berhak atas uang sejumlah USD 10.000 dan sertifikat. Sedangkan pemenang utama mendapat medali emas. Pemenang utama biasanya bukanlah individu melainkan sebuah institusi pers (surat kabar). 


SEJARAH JURNALISTIK DI INDONESIA

Zaman Penjajahan Belanda

Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar bernama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani” pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar dengan pemberitaan bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu.

Zaman Penjajahan Jepang 

Beralih ke masa penjajahan Jepang. Pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun pada masa ini, surat izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa  Belanda banyak yang dimusnahkan. Penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini antara lain  Asia raya(Jakarta), Sinar Baru(Semarang), Suara Asia(Surabaya), Tjahaya(Bandung).

Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia. Pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia bertambah. Rakyat semakin  kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar dan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.

Ada pula UU no. 16 yang menunjukkan berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif yang meliputi semua penerbitan. Selain itu masih ada tindakan lain, yakni menempatkan shidooin (penasihat) dalam redaksi yang sebenarnya bertugas melakukan kontrol langsung. Bahkan tidak jarang, mereka juga menulis pada media tersebut.

Zaman Kemerdekaan

Namun di era Revolusi(1945-1949) situasipun berubah. Perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan untuk menentang Belanda masuk lagi ke Indonesia.hal ini berpengaruh pada perkembangan  Jurnalistik Indonesia. Pers terbagi kedalam 2 kelompok yakni pers Nica(Belanda) dan pers Republik (Indonesia). Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers.

Organisasi wartawan pertama yakni Persatuan Wartawan Indonesia lahir 9 Februari 1946.

Orde Lama

Pembredelan pers banyak terjadi setelah berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg/ undang-undang negara dalam keadaan bahaya, 14 Maret 1957).

Beberapa media yang dibreidel pada masa itu adalah: Suara Maluku di Ambon (15 Januari 1958); Suara Andalas di Medan (30 Januari 1958); Keng Po di Jakarta (21 Februari 1958); Tegas di Kutaraja (25 Februari 1958); Bara di Makassar (13 Maret 1958); Pedoman di Jakarta (22 Maret 1958); Kantor berita PIA, Indonesia Raya dan Bintang Minggoe di Jakarta (29 Mei 1958).

Penahanan terhadap wartawan pun banyak terjadi pada masa ini.

Kematian pers Indonesia ditandai dengan pemberlakuan Surat Izin Terbit (SIT) tanggal 1 Oktober 1957 oleh KODAM V Jakarta Raya.

Orde Baru

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Meski pada awal Orde Baru, pers sempat menikmati kebebasanya, namun pada era ini, kebebasan pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.

Pada era ini muncul idiom Pers Pancasila yang dirumuskan dengan menggunakan idiom pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Peristiwa yang paling fenomenal pada saat itu  adalah peristiwa Malari yang melibatkan pembredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada 15 Januari 1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana. Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa, antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah.

Orde Reformasi

Kelahiran orde reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 mei 1998 setelah soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya BJ.Habibie, disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh rakyat indonesia. Terjadilah euforia dimana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Departemen penarangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan sertah mertah di bubarkan.

Secara yuridis UUD pokok pers NO.21/1982 pun diganti dengan UU pokok pers NO.40/1999. Dengan undang-undang dan pemerintahan baru, siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers. Seperti di tegaskan pasal 9 ayat (1) undang-undang pokok pers NO.40/1999; setiap warga negara indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Pada pasal yang sama ayat berikutnya (2) ditegaskan lagi, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum indonesia.

Kewewenangan yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU pokok pers NO.40/1999, pers nasional melaksanakan peranan : (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia sertah menghormati kebhinekaan, (c) mengembangkan pendapat umum berdasrkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (d) melakkukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Sources:
http://jurnalistikmadingsma.blogspot.com/2012/10/sejarah-jurnalisme-di-indonesia.html
http://www.asal-usul.com/2009/04/joseph-pulitzer-penghargaan-pulitzer.html
http://wantysastro.wordpress.com/2012/10/05/sejarah-jurnalistik-di-dunia-dan-di-indonesia/
http://homework-uin.blogspot.com/2009/12/sejarah-jurnalistik.html
http://anggelinasinta.blogspot.com/2012/11/sejarah-dan-perkembangan-jurnalistik-di.html
https://fannylesmana4communication.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-pers-di-indonesia/
http://putrajaya431.blogspot.com/
http://jurnalistikmadingsma.blogspot.com/2012/10/sejarah-jurnalisme-di-indonesia.html